Wednesday, September 29, 2010

Sertifikasi Bukan Alat Pengukur Mutu

KUALITAS GURU
Sertifikasi Bukan Alat Pengukur Mutu
Rabu, 29 September 2010 | 03:36 WIB


Jakarta, Kompas - Sertifikasi guru bukan ukuran yang tepat untuk menilai peningkatan mutu guru. Sebab, sertifikasi guru lebih merupakan proses untuk menetapkan guru apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasalnya, peningkatan mutu guru pascasertifikasi tidak serta-merta meningkat tajam. Karena itu, program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah hingga tahun 2015, baik lewat penilaian portofolio maupun pendidikan dan pelatihan guru, tetap harus diikuti dengan pembinaan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan.

”Jika pemerintah dan masyarakat belum puas dengan kinerja guru pascasertifikasi, jangan hanya menyalahkan guru. Selama ini pembinaan dan pelatihan kepada guru dilakukan secara massal saat ada perubahan kebijakan pendidikan. Pembinaan secara sistematis dan komprehensif tak ada,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo di Jakarta, Selasa (28/9).

Sulistiyo mengatakan, peningkatan mutu guru tak bisa dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Keseriusan penanganan guru harus jadi komitmen pemerintah, di antaranya lewat direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang sudah ada.

”Bukan dibongkar-pasang sesukanya. Kita sudah tak bisa coba-coba lagi dalam peningkatan mutu guru. Kita mesti sudah punya sistem pembinaan profesionalisme guru yang mantap,” kata Sulistiyo.

Ketua Harian Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, peningkatan mutu guru pascasertifikasi ada, tetapi belum signifikan. ”Seharusnya sertifikasi jadi langkah awal untuk membenahi pembinaan dan pelatihan guru,” ujar Unifah.

Menurut dia, profesionalisme guru dapat berjalan jika ada sebuah sistem yang terus-menerus menjaga pembinaan guru. Selain itu, guru sendiri juga harus ada komitmen menjadi guru sejati.

Unifah mencontohkan, di Singapura, pemerintah mengharuskan guru mendapat pelatihan 100 jam per tahun. Para guru mendapat pelatihan mendasar agar mereka bisa mengembangkan metodologi dan bahan ajar untuk mendorong prestasi siswa.

Sampai saat ini pembinaan guru yang mendasar belum ada. Pembinaan untuk membuat guru memahami berbagai metodologi pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif dan menikmati belajar masih minim. Kemampuan guru mengevaluasi siswa pun masih terbatas sebab alat evaluasi dibuatkan oleh dinas pendidikan setempat.

Kepala SDN 07 Poso Ani Dako mengatakan, kesempatan mendapatkan pelatihan bagi guru sangat terbatas. Bentuknya pun lebih banyak semacam penataran atau seminar.

Alhasil, guru-guru hanya paham secara konsep. Perubahan-perubahan paradigma guru dalam pembelajaran tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena guru masih bingung.

”Sebagai guru, tentu ingin membuat siswa semangat belajar. Para guru pun punya kemauan untuk berubah. Di daerah sulit mendapat model-model pembelajaran yang menyenangkan bagi guru dan siswa,” ujarnya.

Saturday, September 18, 2010

Daya Saing Pendidikan Indonesia Naik

Jumat, 17 September 2010 | 22:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Daya saing pendidikan dasar dan tinggi Indonesia secara global pada tahun ini meningkat. Pencapaian ini diharapkan akan terus mendorong peningkatan kondisi dan kualitas pendidikan yang dapat semakin meningkatkan daya saing bangsa dalam kancah internasional.

Laporan dalam The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dilucurkan Forum Ekonomi Dunia pekan lalu menyebutkan, indeks daya saing global atau global competitiveness index (GCI) Indonesia meningkat. Pada tahun ini, GCI Indonesia berada di posisi ke-44 dari 139 negara, sedangkan tahun lalu di peringkat ke-54 dari 133 negara.

Adapun sejumlah negara tetangga Indonesia berada pada peringkat yang lebih baik. Singapura berada di posisi ke-3, Malaysia di posisi ke-26, Brunei Darussalam di peringkat ke-28, dan Thailand di posisi ke-38.

Perbaikan peringkat GCI Indonesia itu terutama disebabkan oleh kondisi makro ekonomi yang lebih sehat. Selain itu, indikator-indikator pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan tinggi juga lebih baik.

"Pendidikan berkontribusi untuk meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global. Tetapi kita jangan terlalu senang-senang dulu dengan hasil ini. Tetap mesti bekerja keras untuk menjaga dan meningkatkan kemajuan di bidang pendidikan," kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Jumat (17/9/2010).

Indikator pendidikan dasar Indonesia meningkat untuk kualitas pendidikan dasar (dari posisi 58 ke 55), dan partisipasi pendidikan dasar (dari 56 ke 52). Terdongkraknya daya saing global Indonesia juga didorong pendidikan tinggi dan pelatihan untuk indikator partisipasi pendidikan tinggi, kualitas sistem pendidikan, kualitas matematika dan sains, akses internet di sekolah, dan pelatihan staf.

Peningkatan di bidang inovasi didorong kerja sama penelitian industri-perguruan tinggi yang semakin baik. Kolaborasi universitas-industri Indonesia berada di peringkat 26.

Di tengah perbaikan indikator pendidikan itu, beberapa indikator lainnya yang juga penting justru menurun. Penurunan itu terjadi pada indikator partisipasi pendidikan menengah, kualitas sekolah manajemen, kualitas lembaga penelitian, serta ketersediaan lembaga penelitian dan pelatihan di tingkat lokal.

Nuh mengingatkan agar pendidikan dasar tidak dilupakan atau dilepas tanpa pengawasan pada kualitas. "Pendidikan dasar dan menengah jangan dilepas. Jika dilepas, kesenjangan APM di SMA dan perguruan tinggi akan semakin lebar," kata Nuh.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/17/22040792/Daya.Saing.Pendidikan.Indonesia.Naik

Wednesday, June 07, 2006

Pelanggaran Konstitusi, Realisasikan 20 Persen Anggaran Pendidikan dalam APBN-P 2006

Kamis, 08 Juni 2006

Jakarta, Kompas - Pemerintah harus bersungguh- sungguh untuk merealisasikan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN Perubahan 2006. Bila itu tidak dilakukan berarti pemerintah sengaja melanggar konstitusi. Dana untuk merealisasikannya bisa dihimpun apabila dilakukan dengan cara-cara nonkonvensional, seperti mencegah kebocoran pemasukan pajak, penghapusan, dan pengalihan utang luar negeri.

"Ini merupakan momentum yang baik bagi kita bersama untuk belajar mematuhi konstitusi," kata Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, di Jakarta, Rabu (7/6).

Kini sudah muncul tanda-tanda pemerintah akan mengabaikan ketentuan konstitusi, yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Dalam pembicaraan antara DPR dan pemerintah, Senin malam, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengajukan skenario anggaran pendidikan, yakni 12,7 persen, 9,5 persen, atau 10 persen dari APBN.

Abduhzen mengemukakan, bila pemerintah menjanjikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN akan direalisasikan dalam APBN 2007, itu soal nanti. Yang jelas saat ini ada kesempatan pemerintah untuk mengoreksi APBN 2006 yang telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945.

"Selalu ada alasan yang bisa dipergunakan untuk tak merealisasikan ketentuan konstitusi yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Bila dalam APBN-P 2006 ketentuan itu dilanggar, dalam APBN 2007 pun kemungkinan akan dipergunakan alasan yang sama," ujarnya. (wis)

Penilaian Pendidikan

Opini Kompas (Kamis, 08 Juni 2006)

Doni Koesoema A

Banyak kalangan, seperti orang tua, intelektual, pendidik, anggota parlemen, dan masyarakat, mempertanyakan makna ujian nasional (UN). Alih-alih memecahkan persoalan peningkatan mutu pendidikan, ketika berhadapan dengan disparitas kultur akademis, ketersediaan tenaga guru, sarana dan prasarana pendidikan, dan sebagainya UN malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Karena itu, banyak yang mengusulkan UN dihapus.

Namun, yang dihadapi dunia pendidikan bukan persoalan sekadar "nasional" atau "lokal". Sistem penilaian yang dipraktikkan dalam dunia pendidikan, seperti ujian, evaluasi, pemeringkatan, pengisian rapor, dan lainnya, telah lama dipersoalkan keabsahan (validity) dan keandalannya (affidability) sebagai tolok ukur hasil suatu proses pendidikan. Jadi, modus operandi dalam menilai sebuah kinerja pendidikan itu sendirilah yang dipertanyakan.

Docimologi
Berbagai macam ketidakakuratan dan ketidaktepatan dalam menilai hasil pendidikan melahirkan studi khusus yang oleh H Piéron (1963) disebut docimologi (dari kata Yunani, dokimàzo, menilai, dan logòs, diskursus sistematis dan ilmiah). Docimologi merupakan studi kritis, mempelajari masalah seputar tata cara penilaian hasil-hasil suatu intervensi pendidikan.
Tata cara penilaian proses pendidikan biasanya dipengaruhi gambaran manusia macam apa yang menjadi titik pijaknya. Sayang, antropologi UN inilah yang biasanya luput dari bahasan anggota parlemen (politisi) dan birokrat pemerintah saat menghadapi polemik seputar UN.

Dalam kerangka menilai perkembangan peserta didik, misalnya, kian disadari, gambaran manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis tak mampu menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai aneka macam fasilitas, pikiran, budi, kehendak, emosi, dan lainnya. Model kuantifikasi hasil pendidikan dalam jumlah nilai dianggap terlalu meredusir makna pendidikan dan gambaran tentang manusia yang melatarbelakanginya.

Karena itu, mulai dikembangkan suatu cara penilaian di mana akuisisi ilmu dipahami bukan dalam arti "banyaknya" jumlah gagasan serta pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima peserta didik, tetapi sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap dan perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik. (JM Prellezo-L Calonghi,1997,1159)

Populisme murahan
Penilaian hasil pendidikan dalam lingkup nasional melalui UN dalam batas-batas tertentu masih bisa dipakai sejauh diterapkan dalam kerangka evaluasi dan perbaikan secara struktural, bukan dalam kerangka evaluasi kinerja individu. Karena itu, banyaknya kritik yang muncul terkait dengan "pemaksaan" pelaksanaan UN 2006 tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapus UN begitu saja. Para politisi yang membabi buta meminta UN dihapus tanpa memberi alternatif bisa jatuh pada sikap populisme murahan.

Sebaliknya, sikap pemerintah yang ngotot agar UN dijalankan tanpa memberi pertimbangan yang valid dan sah, tidak memberi tindak lanjut dalam kebijakan pendidikan post UN, serta tuli atas masukan bisa dicap sekadar bagi-bagi uang. Dana Rp 238 miliar untuk UN bukan jumlah sedikit.

Pendidikan merupakan sebuah intervensi sosial demi tujuan tertentu. Setiap keputusan intervensif di bidang pendidikan harus memerhatikan dan melihat dampak intervensi itu dalam konteks lebih fundamental. Membuat suatu program bagi intervensi pendidikan tetapi tidak mau mempertimbangkan dampaknya merupakan perilaku tidak bertanggung jawab.
Salah satu dampak UN yang paling eksistensial adalah digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandardisasi.

Hilangnya pribadi
UN yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN telah meredusir kekayaan pribadi menjadi sekadar barang produksi yang bisa distandardisasi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan (person). Lewat UN, dimensi etis individu tidak diakui lagi.

Selain itu, proses penilaian UN tidak mengacu sekumpulan nilai (set of value), tetapi efektivitas dan efisiensi, yaitu sejauh mana seseorang menggunakan sumber-sumber pengetahuan yang tersedia baginya. Dengan adanya disparitas sumber-sumber pengetahuan yang ada, entah karena keterbatasan dana, sarana, tenaga guru, dan lainnya, UN yang berpretensi membuat "penyamaan" telah menjadi alat untuk menyebarkan ketidakadilan.

Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreativitas, juga kebebasan dalam mengembangkan diri, penilaian kelulusan yang hanya mendasarkan pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat manusia.

Kemampuan akademis memang merupakan batu pijakan (corner stone) bagi dunia pendidikan. Namun, pertumbuhan karakter adalah fondasi bagi hidup seseorang. Pendidikan semestinya memberi tolok ukur penilaiannya pada sikap pdan erilaku yang baik (good doing), bukan sekadar mencetak orang-orang sesuai spesifikasi kuantitatif yang dipaksakan.

Menerapkan kriteria ekonomi lewat efisiensi dan efektivitas bagi tolok ukur sebuah proses pendidikan membuat banyak hal yang bernilai dalam diri pribadi hilang, seperti kesadaran sebagai warga (citizenship), ketulusan dan kejujuran (honesty), rasa hormat, persahabatan, penghargaan atas perbedaan, jerih payah, kerja keras, ketekunan, dan lainnya.

Pribadi dengan kriteria inilah yang kini dibutuhkan agar masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai, tidak gampang berkelahi dan adu otot, tetapi mampu menghargai keragaman dalam kesatuan. Kebhinekaan yang ika inilah senyatanya kekayaan bangsa kita.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

Menkeu: Perusahaan Anggaran Pendidikan Maksimal 10 Persen

Rabu, 07 Juni 2006 13:38:00

Jakarta-RoL-- Pemerintah mengisyaratkan, kenaikan anggaran pendidikan maksimal yang mungkin dilakukan dalam APBN-Perubahan (APBN-P) 2006 adalah menjadi 10 persen, dari sebelumnya hanya 9,1 persen dalam APBN 2006."Memang pemerintah posisinya adalah TDL (tarif dasar listrik) tidak naik. Presiden sudah sangat jelas (tentang itu). Artinya ruang untuk kenaikan biaya di sektor pendidikan sekitar Rp16 triliun tidak dimungkinkan. Mungkin alternatif kedua dan ketiga yang akan dipertimbangkan," kata Menkeu Sri Mulyani usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Pansus RUU Kepabeanan dan RUU Cukai DPR, di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, pemerintah mengajukan tiga alternatif pembiayaan kepada DPR untuk menjadi bahan pertimbangan. Alternatif pertama adalah meningkatkan rasio anggaran pendidikan menjadi 12,6 persen atau tambahan sebesar Rp16,9 triliun, namun TDL harus naik, defisit anggaran menjadi 1,3 persen, tidak ada anggaran untuk percepatan penyediaan infrastruktur dan tidak ada pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Alternatif kedua adalah meningkatkan rasio anggaran pendidikan menjadi sedikit di atas 9,1 persen atau tambahan sebesar Rp3 triliun, namun pemerintah juga harus menyediakan subsidi TDL sebesar Rp10,9, dan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp3 triliun, serta defisit anggaran menjadi 1,3 persen, dengan tidak ada anggaran pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Alternatif ketiga adalah meningkatkan rasio anggaran pendidikan menjadi 10 persen atau tambahan sebesar Rp5 triliun, dengan subsidi listrik Rp10,9 triliun dan dana pembangunan infrastruktur Rp3 triliun serta defisit anggaran menjadi 1,3 persen, dengan tidak ada anggaran pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi Yogyakarta dan Jawa Tengah.Selain anggaran pendidikan, subsidi listrik, anggaran pembangunan infrastruktur, pemerintah masih harus menyediakan dana luncuran APBN 2005 sebesar Rp9,4 triliun, bunga utang Rp6,3 triliun dan belanja lainnya Rp2,3 triliun.Menkeu menjelaskan jika kita ingin mengalokasikan seluruh ruang fiskal yang dimiliki pemerintah saat ini ke sektor pendidikan, maka pengeluaran sektor lain tidak akan tertutupi. Ruang fiskal itu, menurut Menkeu adalah beberapa upaya penambahan dari sisi penerimaan yang berupa penghematan, dan optimalisasi pembiayaan.

"Implikasinya kita memiliki tambahan dana yang bisa kita alokasikan," jelasnya.Penghematan yang berhasil dilakukan pemerintah mencapai Rp34,9 triliun yang terdiri atas kelebihan pendapatan Rp0,8 triliun, penghematan belanja Rp16,2 triliun, kelebihan pembiayaan Rp17,9 triliun (pembiayaan dalam negeri Rp4,6 triliun, pembiayaan luar negeri Rp13,3 triliun). Ini pun masih bisa ditambah Rp2 triliun lagi dari pemotongan anggaran kementerian dan lembaga.Menkeu juga mengatakan, pemerintah tetap akan menjaga defisit anggaran maksimal untuk tetap berada pada 1,3 persen.Sebelumnya anggaran pendidikan yang dicantumkan dalam APBN 2006 adalah Rp33 triliun atau 9,1 persen dalam APBN. Sedangkan defisit anggaran dalam APBN 2006 adalah sekitar 0,7 persen. antara/abi

Alokasi 20 Persen Tetap Harus Diusahakan

Rabu, 07 Juni 2006

Jakarta, Kompas - Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berpendapat, alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan tetap harus diusahakan jika betul-betul hendak konsisten melaksanakan ketentuan UUD 1945. Kalau saja pemerintah bisa menekan kebocoran anggaran, alokasi 20 persen itu bisa terpenuhi.

Kepada wartawan di Jakarta, Selasa (6/6), Hidayat menyebutkan, jika sinyalemen sejumlah kalangan mengenai kebocoran anggaran yang mencapai 30 persen itu bisa ditekan sampai separuhnya saja, pemenuhan alokasi 20 persen anggaran pendidikan bukan hal yang sulit. Karena itu, perlu terobosan untuk memenuhi ketentuan konstitusi itu. Namun, Hidayat juga mengakui, kemungkinan alokasi 20 persen dana anggaran pendidikan itu baru akan terpenuhi tahun 2007.

Ia juga mengingatkan, Depdiknas mesti menyiapkan program yang jelas. Mengingat ketentuan itu sudah termuat dalam konstitusi, sudah semestinya bila jauh-jauh hari Depdiknas mengantisipasi kucuran dana yang lebih besar itu. Jangan sampai kemudian daya serapnya rendah akibat ketidakjelasan program atau malahan terjadi kebocoran penggunaan anggaran yang besar itu ataupun penggunaannya yang tidak efisien.

Wakil Ketua Komisi X DPR Masduki Baedlowi menilai pembicaraan antara DPR dan pemerintah tentang anggaran belum final. Sebab, rapat Senin malam lalu itu hanya bersifat konsultasi dan kesimpulannya tidak mengikat secara hukum. Masduki bahkan kecewa atas paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat tersebut. Untuk RAPBN-P 2006, Menkeu hanya mengajukan tiga skenario untuk bidang pendidikan. Pertama, 12,7 persen. Kedua, 9,5 persen. Ketiga, 10 persen. (NAR/DIK)

Mutlak Harus Akuntabel Tanpa Transparansi, Anggaran Pendidikan 20 Persen Tidak Berarti

Rabu, 07 Juni 2006

Jakarta, Kompas - Realisasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN tidak ada artinya bila tak ada transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat. Karena itu, harus ada gerakan masyarakat untuk memonitor dan mengawasi anggaran pendidikan agar benar-benar sampai ke sekolah dan anak didik.

Perlunya monitoring dan pengawasan anggaran pendidikan itu mengemuka dalam seminar dan lokakarya "Pendidikan Dasar Gratis dan Bermutu", yang diselenggarakan Komnas HAM dan LBH Pendidikan di Jakarta, Selasa (6/6).

Direktur Eksekutif Kapal Perempuan Yanti Mochtar mengemukakan, sangat mengerikan bila anggaran pendidikan yang naik menjadi 20 persen dari APBN tidak sampai ke sekolah atau anak didik. Untuk menjamin agar dana pendidikan sampai ke anak didik, Yanti menilai perlunya kesiapan masyarakat untuk melakukan monitoring dan mengevaluasi sejauh mana pemerintah menggunakan dana itu untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Staf Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Naning Mardiniyah juga mengemukakan pentingnya masyarakat mengawasi bagaimana pemerintah melaksanakan alokasi anggaran pendidikan. Selain menekankan perlunya tekanan masyarakat dan gerakan kultural untuk mengawal anggaran pendidikan 20 persen, Naning juga mengemukakan perlunya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif terhadap belanja pendidikan.

Perwakilan UNESCO di Jakarta, Alisher Umarov, juga mengemukakan bahwa masalah pendidikan tidak akan selesai hanya dengan peningkatan anggaran pendidikan. Apalagi dengan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, pengeluaran total untuk pendidikan di Indonesia masih tergolong kecil dibandingkan negara-negara lain. Umarov juga menekankan perlunya transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi penggunaan anggaran pendidikan sampai di sekolah agar setiap rupiah yang dibelanjakan untuk pendidikan sampai ke tingkat masyarakat.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Soedijarto mengingatkan, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD merupakan alokasi minimal yang diamanatkan oleh konstitusi. Jumlah tersebut, menurut Soedijarto, masih belum mencukupi untuk membiayai pendidikan sebagaimana dituntut dalam negara kesejahteraan.

"Di Belanda, sekolah swasta maupun sekolah negeri dibiayai oleh pemerintah. Kita sudah salah sejak semula. Pada zaman Orde Baru, sekolah negeri telah memungut SPP. Seharusnya, kepala SMP negeri yang memilih-milih murid harus dipecat," kata Soedijarto.

Bila alokasi anggaran pendidikan 20 persen direalisasikan, kata Naning, tidak boleh ada lagi anak di Indonesia yang tidak bisa bersekolah di tingkat SD dan SMP. Karena itu, tambahnya, selain anggaran pendidikan dialokasikan untuk membiayai sekolah formal, sebaiknya juga memberikan alokasi dana untuk komunitas-komunitas yang membuat sekolah sendiri. (wis)

Monday, June 05, 2006

Pemerintah Sulit Penuhi Anggaran Pendidikan 20 Persen

Republika
Selasa, 06 Juni 2006

JAKARTA -- Pemerintah tidak mungkin memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN pada tahun-tahun ini. Bila hal itu dipenuhi, dipastikan seluruh proyek pemerintah harus dihentikan.

Pernyataan itu dikemukakan Menkominfo, Sofyan Djalil, usai rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/6). ''Intinya, pemerintah dan DPR sangat serius menanggapi keputusan dan keinginan soal 20 persen anggaran pendidikan itu. Tetapi, kalau dicapai hari ini, proyek pemerintah di semua departemen harus di-pending,'' kata Sofyan. Namun, karena persoalan itu merupakan hak bujet, maka kewenangan itu merupakan hak DPR bersama pemerintah.

Lebih lanjut, Sofyan mengatakan pemerintah memiliki tiga opsi terkait anggaran pendidikan itu. Ketiga opsi itu pula yang dibahas dalam rapat konsultasi dengan pimpinan DPR, kemarin malam. Namun, Sofyan menolak merinci ketiga opsi tersebut. ''Yang pasti, lebih tinggi dari hanya 9,1 persen sebagaimana yang diberitakan selama ini,'' kata Sofyan. ''Berapa besarnya itu yang masih dikaji Menkeu, Sri Mulyani.''

Sebelumnya, kemarin (5/6) di Minahasa, Sulawesi Utara, Ketua DPR, Agung Laksono, meminta agar anggaran pendidikan 20 persen itu bukan patgulipat. ''Saya tidak setuju kalau angka 20 persen hanya akal-akalan. Dikumpulkan dari departemen-departemen,'' kata Agung. Jika manipulasi seperti itu dilakukan, tujuan peningkatan mutu pendidikan pun tidak akan tercapai.

Dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi, anggaran pendidikan yang sebelumnya hanya mencapai Rp 30 triliun, akan naik menjadi sekitar Rp 90 triliun. ''Dengan anggaran sebesar itu, mestinya pendidikan dari TK hingga SMA bisa gratis,'' kata Agung.

Namun, Agung masih mempersoalkan rincian besaran tersebut. ''Apakah bujet total atau belanja pusat saja? Apakah 20 persen itu termasuk gaji guru, dosen, hingga semua prasarana. Semua harus dirumuskan lebih dulu,'' kata dia. Rencananya bulan ini DPR akan menyelesaikan pembahasan APBN Perubahan (APBN-P).(osa/dwo )

Pemerintah dan DPR Sepakat Upayakan Anggaran Pendidikan 20 Persen

Republika
Selasa, 06 Juni 2006 8:44:00

Jakarta-RoL-- Pemerintah dan DPR-RI sepakat mengupayakan peningkatan anggaran untuk sektor pendidikan hingga 20 persen dari total belanja di APBN dari saat ini yang hanya sekitar 9,1 persen sesuai dengan tuntutan UUD 1945.

Kesepakatan itu dicapai dalam rapat konsultasi antara pemerintah dan pimpinan DPR-RI di Istana Negara Jakarta, Senin malam.Usai rapat tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ketua DPR-RI, Agung Laksono mengatakan, kenaikan anggaran sektor pendidikan menjadi 20 persen akan dilihat kemungkinannya dalam pembahasan APBN Perubahan 2006 yang akan mulai dibahas Juli mendatang.

"Kita sepakat menuju 20 persen anggaran pendidikan pada tahun 2006 atau 2007. Nanti akan ada pembahasan lebih lanjut antara DPR dengan Menteri Keuangan untuk melihat sumber-sumber pendanaan yang realisitis," katanya. Selain itu, pembahasan kemungkinan kenaikan anggaran itu juga diharapkan tetap adil agar bisa memenuhi kebutuhan konstitusional lainnya dalam memenuhi anggaran di sektor yang lain.

Sementara Ketua DPR Agung Laksono mengatakan, untuk meningkatkan alokasi anggaran sektor pendidikan dari sekitar 9,1 persen saat ini menjadi 20 persen akan diupayakan dengan melihat sumber-sumber dan program-program yang jelas dan terarah. "Kita akan melihat di pembahasan APBN Perubahan 2006 dan untuk mencapai itu, Panitia Anggaran DPR-RI akan meminta pemerintah mengajukan alternatif-alternatif," katanya.

Sementara Presiden Yudhoyono mengatakan, alternatif yang dibayangkan adalah dengan mencari peluang jika ada tambahan pendapatan atau pengeluaran yang bisa ditunda untuk dialihkan ke sektor pendidikan. Presiden menambahkan, pemerintah akan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pertemuan bersama dengan DPR untuk mengklarifikasi keputusan MK yang meminta pemerintah untuk segera memenuhi alokasi 20 persen untuk anggaran pendidikan.

"DPR dan pemerintah akan minta klarifikasi kepada MK secepat-cepatnya pada kesempatan pertama," katanya. Presiden juga mengatakan bahwa DPR dan pemerintah sepakat, pengelolaan atau manajemen pendidikan disempurnakan dengan melakukan efisiensi dengan menghilangkan kebocoroan-kebocoran yang tidak perlu. Selain itu, lanjutnya, juga disepakati upaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan terus menggerakkan program wajib belajar.
Dalam rapat tertutup itu juga hadir Wakil Presiden Jusuf Kalla, seluruh pimpinan DPR-RI, Ketua Komisi X DPR dan Komisi XI DPR, serta menteri-menteri terkait. Pada APBN 2006 pemerintah dan DPR menganggarkan anggaran pendidikan Rp36,7 triliun atau 9,1 persen dari total belanja negara sebesar Rp647 triliun. ant/fif

Menuntut Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan

Kompas, Kamis, 05 Agustus 2004

Oleh: Anita Lie

PASAL 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Janji pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditandatangani Presiden 8 Juli 2003.

DALAM Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) antara lain disebutkan: Pertama, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat (1)). Kedua, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat (1)). Ketiga, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat (1)). Keempat, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" (Pasal 11 Ayat (2)).

Janji pemerintah ini sudah sesuai dengan Konvensi Internasional Bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya. Selanjutnya, dalam masa kampanye legislatif dan calon presiden (capres), pendidikan menjadi komoditas yang ditonjolkan. Semua capres menjanjikan pembenahan sektor pendidikan. Yang belum jelas, komitmen menyentuh akar permasalahan dalam bidang pendidikan dan skenario mengatasi berbagai permasalahan itu.

Permasalahan

Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) dan (2), UU SPN No 20/2003, dan kesepakatan dalam Konvensi Internasional Bidang Pendidikan di Dakkar tahun 2000, masyarakat bisa mempunyai persepsi, pendidikan dasar akan gratis (baca, misalnya, Kompas, 31/8/2003).

Padahal kenyataannya, siswa masih dikenai berbagai pungutan, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Bahkan ditengarai, Komite Sekolah yang semestinya berfungsi sebagai lembaga pengontrol sekolah malah memberikan justifikasi bagi berbagai pungutan yang diadakan sekolah (Kompas, 2/8/2004). Pemberian subsidi biaya oleh pemerintah tidak serta-merta menggratiskan pendidikan bagi warga. Di Jawa Timur, misalnya, pemerintah provinsi dan kabupaten memberi subsidi sebesar Rp 15.000 untuk SD-MI (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah) dan Rp 20.000 untuk SLTP-MTs (madrasah tsanawiyah). Ini berarti di sekolah-sekolah yang membiayai penyelenggaraan pendidikan lebih dari Rp 15.000 dan Rp. 20.000 per siswa, ada kemungkinan besar orangtua atau wali murid harus menanggung kekurangan biaya. Padahal, ada banyak sekolah (baik negeri maupun swasta) yang menganggarkan unit cost di atas Rp. 15.000 dan Rp. 20.000.

Program pemberian subsidi biaya minimal pendidikan dasar bisa menimbulkan dua macam kekecewaan. Pertama, sebagian masyarakat yang sudah terlanjur berharap pada pendidikan gratis untuk anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun akan kecewa karena ternyata orangtua atau wali murid masih harus membayar iuran pendidikan. Sekali lagi, mereka akan beranggapan, yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan permainan kata-kata (SPP- Sumbangan Pembinaan Pendidikan-ditiadakan, juga iuran BP3-Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan-tidak diberlakukan. Namun, ternyata tetap masih ada biaya yang harus dikeluarkan).

Kedua, orangtua (terutama dari kalangan miskin) makin tercekik dengan berbagai biaya tambahan mulai dari seragam, buku pelajaran, darma wisata, dan sebagainya. Dalam lingkaran setan kemiskinan pendidikan siswa-lah yang menjadi korban pada tataran yang paling menderita. Dalam proyek pengadaan buku pelajaran, seragam, dan sebagainya, guru (dan juga kepala sekolah) mengambil keuntungan dengan dalih kesejahteraan guru yang amat memprihatinkan. Jika siswa tidak mampu membayar berbagai biaya tambahan itu, terancamlah kesinambungan pendidikannya.

Pembiayaan pendidikan yang tanggung-tanggung oleh pemerintah akan menimbulkan (atau makin mengukuhkan) kesenjangan di masyarakat.

Kesenjangan sekolah kaya-miskin

Minimnya tanggung jawab dan peran pemerintah dalam bidang pendidikan makin mengukuhkan segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Siswa-siswi dari keluarga miskin yang mendapat subsidi pemerintah tidak akan mampu menanggung kekurangan biaya sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin), di mana biaya operasional per anak tidak (jauh) melebihi unit cost yang sudah ditetapkan.

Sementara itu, siswa-siswi dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapat iuran pendidikan memadai dari siswa, sekolah- sekolah ini akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. (catatan: Besarnya anggaran tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah. Namun, kekurangan anggaran hampir pasti amat menghambat peningkatan mutu pendidikan). Dalam jangka waktu panjang, disparitas sekolah miskin dan kaya serta anak miskin dan kaya akan makin lebar. Bahkan, di beberapa daerah banyak sekolah miskin harus ditutup karena sudah tidak mampu lagi membiayai penyelenggaraan pendidikan.

Efek kemiskinan dalam pendidikan juga memperlebar jurang antara kota dan desa (Pendidikan dan Kemiskinan Kita, Frietz Tambunan, Kompas, 20/7/2004). Kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, di negara sekaya Amerika Serikat pun disparitas ini muncul di permukaan sebagai fenomena neoliberalisme yang amat memprihatinkan (Jonathan Kozol, Savage Inequalities).

Kesenjangan kekuasaan-kewajiban negara

Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945, UU SPN No 20/2003, dan Konvensi Dakkar, pemerintah wajib menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara. Secara rinci, Pasal 49 UU SPN No 20/2003 menyatakan, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)".

Bahwa ternyata anggaran pendidikan-seperti disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan sidang DPR 15 Agustus 2003-ditetapkan sebesar kurang lebih Rp 15,2 triliun (berarti hanya 4,12% dari anggaran pendapatan negara sebesar Rp 343,9 triliun dan anggaran belanja negara yang sebesar Rp 368,8 triliun), telah terjadi pelanggaran awal oleh pemerintah terhadap UU SPN. Dalam konteks negara yang sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan, pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan yang ada. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.

Seyogianya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika negara tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warganya dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus, mulai dari pelaksanaan UAN, penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UUB, EBTADA, dan sebagainya), sampai dengan sistem penerimaan siswa baru, menunjukkan kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun, ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perizinan, dan sebagainya).

Ketidakseimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini mendapat sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika negara masih beriktikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik.

Otonomi Daerah
Alokasi minimal 20 persen dari APBN dan APBD yang sudah ditetapkan dalam UU SPN No 20/2003, tetapi tidak dipenuhi di tingkat nasional kemungkinan besar akan sulit terjadi di daerah-daerah. Dalam era otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota mempunyai wewenang untuk menentukan anggaran pendidikan dalam APBD-nya. Kondisi dan kemampuan tiap daerah tentu berbeda. Ada daerah yang mungkin sudah mampu menggratiskan pendidikan dasar (Sesaat setelah terpilih pada 28 Agustus 2003, Wali Kota Malang Drs Peni Suparto meluncurkan pendidikan gratis dari SD sampai SMU, Kompas, 29/8/2003). Sementara daerah lain belum sanggup.

Variasi antardaerah yang amat tinggi akan mengarah kepada kesenjangan pendidikan dan pembangunan manusia di berbagai daerah. Kesenjangan ini selanjutnya akan berpengaruh pada kemajuan masing- masing daerah di kemudian hari. Untuk meminimalkan kesenjangan antardaerah, peran pemerintah pusat masih dibutuhkan. Perlu ada kesepakatan dan penetapan biaya maksimal yang harus dibebankan kepada siswa (terutama untuk sekolah-sekolah negeri).

Kepercayaan publik terhadap aparat
Pemberian subsidi untuk siswa dari keluarga miskin perlu disertai antisipasi terhadap teknis pelaksanaan distribusi dana. Sosialisasi, pendataan, dan distribusi subsidi pendidikan ini harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Berbagai kasus penyelewengan dalam program Jaring Pengaman Sosial dan yang lain, makin mengikis kepercayaan publik terhadap aparat negara (baik eksekutif maupun legislatif).

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di berbagai tingkat perlu menyiapkan segala perangkat sosialisasi, pendataan, dan distribusi dengan lebih bertanggung jawab, jujur, dan transparan. Sementara itu, fungsi kontrol yang dilakukan masyarakat baik secara formal lewat Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah maupun lembaga masyarakat nonformal harus lebih digalakkan lagi. Sanksi tegas terhadap penyelewengan yang mungkin muncul harus disiapkan agar good governance tidak hanya menjadi slogan semata.

Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang lebih baik. Janji para wakil rakyat yang sudah terpilih untuk dewan mendatang dan capres untuk mengedepankan pendidikan perlu diikuti komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari. Masyarakat tentu harus menggunakan hak mereka untuk terus mengontrol pemenuhan janji tersebut.

Anita Lie Pendidik, Tinggal di Surabaya

RPP Guru dan Lembaga Sertifikasi

Selasa, 06 Juni 2006

Bandung, Kompas - Meski sudah beberapa kali diubah, draf terakhir Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Guru masih menuai kritik dari sejumlah kalangan. Ketidakjelasan mengenai syarat dan teknik untuk mendapatkan sertifikasi masih tersirat dari draf RPP yang terakhir dikeluarkan 22 Mei lalu.

"RPP yang kini tengah digodok ternyata merupakan turunan masalah dari UU Guru dan Dosen. Dalam draf RPP. Masih belum jelas ketentuan tentang syarat dan teknis bagi guru untuk dapat sertifikat, terutama tentang lembaga sertifikasi," ujar Cecep Darmawan dari Fakultas Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam dialog tentang Draf RPP Guru, Sabtu (3/6).

Idealnya sebuah PP, demikian Cecep, RPP tentang Guru semestinya mengatur secara rinci dan teknis tentang lembaga sertifikasi guru, terutama tentang lisensi dan kewenangan profesi guru. Ketentuan Pasal 5-10 Bagian Ketiga draf RPP tertanggal 22 Mei 2006 belum menjelaskan secara rinci tentang syarat usia, pengalaman mengajar, maupun lembaga perguruan tinggi yang berhak menyelenggarakan pendidikan profesi.

Mengenai keberadaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), Cecep menyarankan perlu adanya pedoman kualitas standar bagi LPTK, terutama untuk di daerah-daerah terpencil. RPP belum memberi penjelasan, apakah suatu LPTK yang telah berakreditasi serta merta bisa menjadi lembaga pendidikan profesi yang berhak mengeluarkan sertifikasi.

Iwan Hermawan, Koordinator Tim Kajian RPP Guru Ikatan Alumni UPI, melihat ketentuan dalam draf RPP Guru masih mendiskriminasikan keberadaan guru. Apabila dosen cukup dengan melihat portofolio, guru malah diwajibkan mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi terlebih dahulu sebelum diakui sebagai tenaga pendidik.

"Padahal, 90 persen dari sekitar 1,5 juta guru diyakini hanya berkualifikasi pendidikan SPG dan diploma dua," ungkap Iwan Hermawan. (jon)

Dana PendidikanPresiden: 20 Persen Difokuskan di APBN-P

Selasa, 06 Juni 2006

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintah berupaya untuk memfokuskan realisasi alokasi anggaran pendidikan 20 persen pada Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) 2006. Namun, jika alokasi anggaran 20 persen itu belum terwujud, pemerintah dan DPR berupaya mewujudkannya kembali pada APBN 2007.

Demikian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan pers bersama Ketua DPR Agung Laksono seusai rapat konsultasi dengan pimpinan DPR, Senin (5/6) malam di Istana Negara, Jakarta.

Dalam rapat konsultasi itu hadir sejumlah pimpinan dan anggota DPR serta pimpinan Komisi X bidang pendidikan, Komisi XI bidang keuangan dan anggaran, serta Panitia Anggaran DPR. Presiden didampingi Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Rapat konsultasi itu dilakukan untuk merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu soal alokasi 20 persen dana pendidikan. Putusan MK itu menyatakan, sepanjang alokasi dana pendidikan masih sebesar 9,1 persen dari APBN dan APBD, maka hal itu bertentangan dengan UUD 1945. Pelaksanaan putusan MK ini tak boleh ditunda-tunda. Pasalnya, UUD 1945 menetapkan anggaran pendidikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.

"Karena APBN-P 2006, baru akan digarap bulan Juli. Yang sekarang kita bicarakan adalah untuk 2006. Maksud saya, ini akan berlanjut karena APBN 2006 tertuang dalam UU APBN 2005. Sedangkan yang kita bicarakan adalah UU APBN 2007. Jadi, ini satu proses berlanjut. Tapi fokusnya tentu adalah APBN-P 2006," ujar Presiden.

Menurut Presiden, bersama dengan DPR, pemerintah justru melakukan exercise dan mencari opsi yang tepat. "Kita cari peluang penghematan anggaran, kita ingin cari peluang kalau ada tambahan pendapatan, dan cari peluang kalau ada kewajiban yang bisa ditunda. Di situlah ruang geraknya dan di situ peluang yang ada sehingga semua pilihan bisa ditetapkan," tambah Presiden.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil menyatakan, Mendiknas dalam rapat semalam akan mempresentasikan tiga alternatif yang bisa ditempuh untuk meningkatkan anggaran pendidikan 20 persen. Namun, Sofyan tidak merinci apa saja ketiga alternatif yang diajukan pemerintah. (har)

Sunday, May 07, 2006

Tinjau Ulang Ujian Nasional

Zuber Safawi, SHI., Ketua Komisi X DPR-RITinjau Ulang Ujian NasionalFraksi-PKS Online: Pemberlakuan Ujian Nasional (UN) sebagai unsur penting standar kelulusan siswa sudah tidak relevan lagi, karena itu pemerintah sudah saatnya mengevaluasi kembali kebijakan ini.
Demikian disampaikan Ketua Komisi X DPR Zuber Safawi dalam keterangan yang disampaikan di Semarang, Selasa, terkait peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2006.

Penghapusan dibutuhkan karena secara normatif proses evaluasi belajar siswa seharusnya telah dimulai sejak awal tahun belajar, sehingga hasil evaluasi lebih bersifat komprehensif.
Lebih penting dari itu, katanya, ada fakta ketimpangan baik dalam ketersediaan sarana, prasarana, mutu, dan biaya pendidikan masing-masing daerah, bahkan antarsekolah.
"Jadi sebelum ada pemetaan dan standarisasi pelayanan pendidikan maka pelaksanaanya hanya akan menimbulkan problem ketidakadilan," kata politikus PKS asal Jawa Tengah itu.

Menurut dia, UN seyogyanya bisa diimplementasikan dalam konteks kewajiban pemerintah menilai kualitas pendidikan di tanah air secara makro, memetakan, dan membina sekolah-sekolah yang rendah di dalam pencapaian standar minimal nilai mata pelajaran, agar sesuai dengan standar nasional pendidikan melalui program-program peningkatan mutu sekolah.
Di dalam UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat 1 dan 2 sendiri secara tegas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik, katanya.

Sedangkan evaluasi peserta didik satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional kependidikan.

"Dengan demikian, UN bukan penentu kelulusan. Namun secara faktual faktor ketidaklulusan siswa lebih banyak terjadi pada kegagalan siswa dalam nilai UN," katanya.

Zuber mengingatkan seharusnya Depdiknas lebih memprioritaskan kepada pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan, karena hal itu menjadi hak konstitusional warga negara akan wajib belajar yang selama ini belum terpenuhi secara memadai.
Sumber: Republika